SURABAYA - Pemerintah tengah menyiapkan rangkaian sanksi bagi calon pegawai negeri sipil (CPNS) dan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) yang mengundurkan diri. Hal tersebut disampaikan oleh Satya Pratama, Kepala Biro Hukum, Humas, dan Kerja Sama BKN. Mereka yang mengundurkan diri akan mendapat sanksi berupa daftar hitam (blacklist) penerimaan ASN untuk satu periode berikutnya dan denda antara Rp 25 juta hingga Rp 100 juta.
Merespons hal itu, Guru Besar Manajemen Sumber Daya Manusia Universitas Airlangga (UNAIR) Prof Dr Jusuf Irianto Drs MCom, Rabu (8/6/2022) menyatakan bahwa keputusan CPNS untuk mengundurkan diri setelah diterima dengan berbagai macam alasan merupakan hak asasi manusia.
Baca juga:
Sri Hastjarjo, S Sos , Ph D: Pers dan Media
|
Menurut Prof Jusuf, manusia memiliki hak untuk memilih pekerjaan atau profesi sesuai kehendak agar lebih bermartabat atau lebih bernilai (most valued). Hal ini selaras dengan informasi di media bahwa alasan undur diri yang diutarakan para CPNS beragam. Mulai gaji dan tunjangan yang tidak sesuai harapan, hingga lokasi penempatan tidak sesuai keinginan. Sehingga tidak ada motivasi lagi untuk bekerja sebagai ASN dan justru lebih tertarik untuk memperoleh pekerjaan lain.
“Pemerintah harus mengapresiasi berbagai alasan tersebut seraya menghormati keputusan CPNS untuk undur diri. Hal ini penting mengingat motivasi bekerja juga sangat penting, dari pada nantinya bekerja terpaksa dan kemudian membuat onar saat bekerja atau tak mampu mencapai kinerja optimal sesuai dengan standar pelayanan publik, ” jelas dosen Administrasi Publik FISIP UNAIR itu.
Landasan yang Kuat
Meski demikian, Prof Jusuf menyampaikan bahwa pemerintah dapat memberi sanksi sepadan dengan mengacu undang-undang atau ketentuan yang berlaku.
“Jangan lupa, apakah pemerintah telah membuat perjanjian dengan CPNS jika undur diri? Apa saja sanksinya? Dan sejumlah pertanyaan lain yang harusnya dapat dijawab merujuk ketentuan perundang-undangan, ” ujar Jusuf.
“Pemerintah harus memiliki landasan hukum yang kuat memberi sanksi kepada CPNS yang undur diri sekaligus sebagai pelajaran bagi masyarakat, ” tambah dosen yang menjabat sebagai Wakil Dekan I FISIP UNAIR itu.
Kemudian, lanjutnya, regulasi harus dibuat sebelum perekrutan dilaksanakan. Hal itu sebagai bukti bahwa pemerintah telah melaksanakan good governance dalam rangka pengadaan CPNS.
“Sudah saatnya pemerintah transparan dengan memberi informasi terang dan jelas kepada setiap pelamar sehingga mereka dapat memahami semua ketentuan kepegawaian yang berlaku, ” ucap Prof Jusuf. Dalam hal ini, lanjutnya, ketentuan tak boleh berlaku surut. Sehingga fenomena CPNS mengundurkan diri ini dapat menjadi pelajaran berharga bagi pemerintah untuk berbenah dalam menyelenggarakan seleksi CPNS.
Reformasi Birokrasi
Berkenaan dengan dampak terhadap iklim ketenagakerjaan ASN di Indonesia ke depan, Prof Jusuf menjelaskan bahwa pemerintah harus mengantisipasi melalui kebijakan yang mampu meredam terjadinya CPNS dan PPPK yang akan undur diri.
“Transformasi wajah birokrasi sebagai workplace harus menampakkan diri sebagai tempat kerja atraktif dan menantang. Reformasi birokrasi yang dilakukan sejak 2010 dapat diandalkan mengubah wajah tempat kerja di birokrasi lebih humanis dan sesuai zaman, ” ucap Jusuf.
“Iklim ketenagakerjaan ASN di Indonesia akan lebih cerah dengan perubahan tampilan fisik dan budaya birokrasi sesuai dengan karakter generasi milenial, generasi Z, dan generasi muda selanjutnya. Ini PR bagi pemerintah yang harus segera diselesaikan tuntas, ” tukasnya. (*)