SURABAYA - Hari raya Idulfitri atau lebaran merupakan momen yang sangat di nanti-nanti terutama bagi umat islam. Berbagai tradisi mengundang sukacita terpancar pada hari kemenangan itu bahkan terjadi sebelumnya.
Pakar sosiologi Universitas Airlangga (UNAIR), Prof Dr Musta’in Mashud, Selasa (3/5/2022) menjelaskan sedikitnya terdapat tiga tradisi menjelang lebaran, yakni mudik, bagi-bagi tunjangan hari raya (THR), dan tradisi menukar uang baru. Jika diperhatikan dari kacamata sosiologi, tradisi-tradisi tersebut memiliki akar sejarah yang unik serta patut diapresiasi keberadaanya.
Mudik
Mudik atau singkatan dari mulih dilik yang berarti pulang sebentar merupakan tradisi lebaran yang umumnya dilakukan masyarakat urban untuk kembali ke kampung halaman. Prof Musta’in menjelaskan, bahwa mudik merupakan momen untuk kembali kepada memori masa lampau bersama keluarga. Hal ini merupakan konsekuensi logis yang terbentuk secara alami di dalam diri manusia ketika berada jauh dari keluarga. Momen itu sudah menjadi kebutuhan diri dan tidak dapat digantikan maupun dikalkulasikan secara ekonomi.
“Proses untuk kembali dari tempat bekerja itu sebagian dari romantisme mereka, jadi segala sesuatu itu tidak bisa dinilai dengan kalkulasi rasional secara ekonomi, ” ujar guru besar sosiologi itu.
Bagi-Bagi THR
Baca juga:
Najwa Shihab: Profesi Jurnalis
|
THR sudah menjadi tradisi yang sangat ditunggu-tunggu oleh pekerja menjelang hari raya idul fitri. Istilah bagi-bagi THR bahkan dipakai juga untuk memberikan uang kepada keponakan atau saudara yang masih kecil saat momen lebaran.
Menurut Prof Musta’in, bagi-bagi THR dan menunaikan zakat keduanya memiliki makna yang sama jika dilihat dari kacamata sosiologi, yakni sebagai bentuk semangat manusia untuk kembali ke fitrah.
Fitrahnya manusia adalah makhluk sosial yang tidak bisa hidup sendiri. Oleh sebab itu, manusia membentuk komunalitas untuk saling berinteraksi dan berbagi dalam memenuhi hajatnya.
Pada masyarakat pedesaan, komunalitas, kebersamaan, kohesivitas, dan solidaritas terjaga dengan baik karena didukung oleh budaya tradisional dan struktur mata pencaharian masyarakat yang berada dekat dengan lingkungan rumah.
Baca juga:
STTAL Ciptakan Prototipe Drone Dua Media
|
Masyarakat pedesaan dulu belum mengenal kata THR. Namun, karena sifat moral dan fitrah manusia, pembagian keuntungan usaha antar individu berdasarkan hierarki pekerjaan sudah terbentuk. Hal itu dinamakan patron-klien.
“Secara moral di desa itu orang kaya memiliki kewajiban, si kaya memberi kepada yang miskin, “ ujar Prof Musta’in.
Seiring berjalannya waktu, tumbuh industri-industri di perkotaan yang membuat masyarakat desa ikut bekerja pada korporasi dengan sistem profesional, meski begitu fitrah kemunusiaan tidaklah luntur. Manusia tetap saling bantu membantu serta berbagi, hanya saja dalam berbagi terkadang manusia menunggu momen yang tepat.
THR adalah implementasi dari sifat manusia yang saling berbagi, namun THR menjadi sesuatu yang diwajibkan oleh negara karena hal ini merupakan momen yang sudah disepakati sebagai bentuk dari hajat bersama agar semua pihak baik pemerintah, pengusaha, buruh maupun swasta dapat sama-sama mengambil manfaatnya.
“Momen itu menurut saya adalah ruang bersama yang bisa dimaksimalkan agar semua orang mendapat manfaatnya, ” ungkap Prof Musta’in.
Baca juga:
Sri Hastjarjo, S Sos , Ph D: Pers dan Media
|
Menukar Uang Baru
Menjelang lebaran, uang dengan pecahan baru diburu oleh masyarakat. Uang baru digunakan masyarakat untuk berbagi THR kepada keponakan atau sanak keluarga.
Menurutnya, hal ini merupakan salah satu bagian dari fasilitas momen. Momen hari raya idul fitri identik dengan ‘salam tempel’. Agar tidak terjadi kecemburuan sosial antar keluarga, maka uang yang dibagikan untuk salam tempel nilainya harus sama.
Agar nilainya sama, maka uang ditukarkan di bank dan dapatilah uang baru. Proses itu terjadi secara terus menerus dan menjadi sebuah tradisi baru di masyarakat. “Momen itu dapat menjadi bagian dari kebutuhan diri, ” jelasnya. (*)