SURABAYA – Setiap tahun, tanggal 17 Juli diperingati sebagai Hari Keadilan Internasional atau Day of International Criminal Justice. Tepat 24 tahun yang lalu, pada hari ini terbentuklah lembaga bernama Mahkamah Pidana Internasional, sebagai garda terdepan dalam menindak dan menghukum para pelaku kejahatan Hak Asasi Manusia (HAM) lintas negara. Tapi benarkah semua orang di dunia tidak bisa lolos dari jerat hukuman?
Mahkamah Pidana Internasional atau International Criminal Court (ICC) adalah lembaga yang dibentuk dari ditandatanganinya sebuah produk hukum internasional yakni Statuta Roma pada tahun 1998. Namun, ICC baru efektif dapat bekerja pada tahun 2002. Mengutip tirto, Statuta Roma dibuat untuk melindungi orang-orang dari kejahatan kemanusiaan seperti genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan perang, serta kejahatan agresi.
Janjinya, siapa saja yang melakukan pelanggaran berat terhadap HAM tidak akan dibiarkan lolos begitu saja. Selain itu, pelaku kejahatan akan diburu dan ditangkap, lalu dimintai pertanggungjawaban melalui ICC. Sampai disini, dapat disimpulkan bahwa ICC berambisi untuk tidak melewatkan seorangpun yang disinyalir melakukan pelanggaran berat terhadap HAM. Namun, benarkah demikian? Benarkah semua orang diperlakukan sama?
Kantor pusat Mahkamah Pidana Internasional atau ICC (Sumber: Republika).
Jika kita menengok ke belakang, sejak diberlakukannya Statuta Roma hingga sekarang, dunia telah menyaksikan konflik demi konflik datang silih berganti. Invasi Irak, Invasi Afghanistan, Perang Saudara Suriah, konflik Rohingnya, hingga Perang Saudara Yaman. Peristiwa-peristiwa tersebut hanya puncak gunung es dari berbagai konflik yang terjadi di dunia dalam kurun waktu 20 tahun terakhir. Apakah ada dugaan pelanggaran HAM berat di peristiwa-peristiwa tersebut? Jawabannya pasti ada.
Dunia tampaknya tidak berpihak kepada kejahatan kemanusiaan. Setiap ada dugaan pelanggaran HAM, pemimpin dunia tampaknya selalu mengecam keras, bahkan mengutuk sampai memberikan sanksi kepada pihak bersangkutan. Kita bisa melihat fenomena ini pada kasus di negara Tiongkok, Korea Utara, Suriah, atau Afghanistan. Pada tahun 2016 misalnya, pemimpin Amerika Serikat saat itu mengecam serangan udara yang menargetkan warga sipil pada Perang Saudara Suriah.
Memang benar, apa yang terjadi di beberapa negara tersebut tidak bisa dibiarkan begitu saja. Kejahatan tetaplah kejahatan, tidak ada kompromi siapapun pelakunya. Namun, bagaimana kejahatan tersebut dikemas tampaknya sedikit demi sedikit memperlihatkan bobroknya dunia internasional memandang pelaku kejahatan. Jika teman sendiri melakukan tindakan serupa, maka hal tersebut bukanlah sebuah kejahatan, semuanya berpura-pura bodoh.
Mereka seketika menjadi pikun ketika di Yaman sebuah bus berpenumpang anak-anak sekolah yang sedang melakukan study tour, diledakkan oleh misil seberat 227 kilogram. Tidak ada keadilan untuk anak-anak tersebut hingga kini. Tidak ada keadilan untuk anak-anak malang yang seketika tewas saat mereka sedang tertawa dan bersenda gurau sembari menenteng tas berwarna biru bertuliskan UNICEF didepannya. Tidak ada yang mau melihat, apalagi mereka yang suka mengecam itu.
Seorang pria sedang berduka atas kematian salah satu anak yang menjadi korban serangan bus sekolah di Yaman (Sumber: STRINGER/AFP/Getty Images).
CNN melaporkan, bom yang digunakan untuk membunuh anak-anak tersebut tidak lain dan tidak bukan dibuat oleh salah satu perusahaan dari dunia barat. Semua diam, sunyi. Lain cerita jika pelanggaran kemanusiaan dilakukan oleh Tiongkok atau Rusia misalnya, semua ramai-ramai mengecam.
Sampai saat ini, dunia tidak menuntut bahkan menghukum para pelaku kejahatan kemanusiaan di sana. Tidak ada yang dimintai pertanggungjawaban atas meregangnya nyawa anak-anak tersebut. Penegakan hukum terhadap kejahatan perang berupa penyerangan dan pembunuhan terhadap penduduk sipil yang dijelaskan pada pasal 8 ayat 2 Statuta Roma tidak ditegakkan.
Pecahan bom/misil yang digunakan untuk menyerang bus sekolah di Yaman (Sumber: CNN).
Nampaknya, keadilan adalah sebuah perspektif. Apa yang dipandang sebagai kejahatan kemanusiaan, tergantung dengan siapa pelakunya. Pun, dari keadilan yang berat sebelah tersebut, sampai sekarang minim sekali persidangan ICC yang menuntut para penjahat kemanusiaan. Nyatanya pelaku yang seharusnya diburu dan ditangkap masih nyaman di rumah masing-masing. Lalu dimana letak keadilan yang setiap tahun dirayakan ini?
Jangan sampai Statuta Roma yang menjadi kitab penegakan hukum terhadap kejahatan kemanusiaan internasional ini hanya menjadi simbol belaka. Siapapun harus bertanggung jawab terhadap perbuatannya. Semoga saja darah dan air mata dari orang-orang yang telah dihinakan hak asasinya dapat dibalaskan dengan tuntas. Kita hanya bisa menunggu kapan terjadi sampai ada whistleblower yang berani memperjuangkan hak-hak korban kejahatan kemanusiaan di luar sana. (*)
Surabaya 20 Juli 2022
Ferdian Wibowo Mahasiswa Departemen Perencanaan Wilayah dan Kota ITS
Reporter ITS Online