SURABAYA – Dalam rangka memperingati International Women’s Day yang jatuh pada 8 Maret 2022 mendatang, Rumah Sakit Terapung Ksatria Airlangga (RSTKA) kembali mengadakan Ngobrol Santai dengan Ahlinya (NGOBRAS) dengan tema Seputar Ca Mammae. NGOBRAS ke-52 yang dilaksanakan pada pada Minggu (6/3/2022) itu menghadirkan dr Eddy Herman Tanggo SpB (K) Onk dan Sulistiawati Ningsih Skep Ns.
Kanker payudara (KPD) merupakan keganasan pada jaringan payudara yang dapat berasal dari epitel duktus maupun lobulusnya. Kanker payudara merupakan salah satu jenis kanker terbanyak di Indonesia. Berdasarkan Pathological Based Registration di Indonesia, KPD menempati urutan pertama dengan frekuensi relatif sebesar 18, 6%.
Diperkirakan angka kejadiannya di Indonesia adalah 12/100.000 wanita, sedangkan di Amerika adalah sekitar 92/100.000 wanita dengan mortalitas yang cukup tinggi yaitu 27/100.000 atau 18?ri kematian yang dijumpai pada wanita. Penyakit ini juga dapat diderita pada laki – laki dengan frekuensi sekitar 1%. Di Indonesia, lebih dari 80% kasus ditemukan berada pada stadium yang lanjut, dimana upaya pengobatan sulit dilakukan. Oleh karena itu perlu pemahaman tentang upaya pencegahan, diagnosis dini, pengobatan kuratif maupun paliatif serta upaya rehabilitasi yang baik, agar pelayanan pada penderita dapat dilakukan secara optimal.
dr Eddy Herman Tanggo SpB (K) Onk di awal pemaparannya menyebut faktor risiko yang erat kaitannya dengan peningkatan insiden kanker payudara antara lain jenis kelamin wanita, usia >50 tahun, riwayat keluarga dan genetik. riwayat penyakit payudara sebelumnya, hormonal, obesitas, konsumsi alkohol, riwayat radiasi dinding dada dan faktor lingkungan.
“Skrining kanker payudara merupakan pemeriksaan atau usaha untuk menemukan abnormalitas yang mengarah pada kanker payudara pada seseorang atau kelompok orang yang tidak mempunyai keluhan. Tujuan dari skrining adalah untuk menurunkan angka kematian akibat kanker payudara, ” jelasnya.
Lebih lanjut, dr Eddy menjelaskan bahwa penegakan diagnosis awal kanker payudara dapat dilakukan melalui anamnesis dan pemeriksaan fisik. Keluhan utama, lanjutnya, berupa benjolan di payudara, kecepatan tumbuh dengan atau tanpa rasa sakit, nipple discharge, retraksi puting susu dan krusta, kelainan kulit, dimpling, peau d’orange, ulserasi, venektasi, benjolan di ketiak dan edema di bagian lengan.
“Pemeriksaan lanjutan dapat dilakukan dengan mamografi payudara, USG payudara, MRI (Magnetic Resonance Imaging) dan CT-SCAN. Juga bisa dengan pemeriksaan laboratorium dengan mengamati perubahan patologi anatomi serta pemeriksaan imunohistokimia, ” ucap dr Eddy.
Terapi pada kanker payudara, tandasnya, sangat ditentukan oleh luasnya penyakit atau stadium dan ekspresi dari agen biomolekuler. Terapi pada kanker payudara selain mempunyai efek terapi yang diharapkan, juga mempunyai beberapa efek yang tak diinginkan. Sehingga sebelum memberikan terapi, sambung dr Eddy, haruslah dipertimbangkan untung ruginya dan harus dikomunikasikan dengan pasien dan keluarga. Selain itu juga harus dipertimbangkan mengenai faktor usia, comorbid, evidence-based, cost effective, dan kapan menghentikan seri pengobatan sistemik termasuk end of life issues.
dr Eddy menambahkan, selain tindakan pembedahan, pengobatan sistemik kanker payudara dapat dilakukan dengan kemoterapi, hormonal terapi, targeting terapi dan immunoterapi. “Kemoterapi disarankan untuk pasien kanker payudara, ” ujar dr Eddy.
dr Eddy menjelaskan kemoterapi yang diberikan dapat berupa obat tunggal atau berupa gabungan beberapa kombinasi obat kemoterapi. Kemoterapi diberikan secara bertahap, biasanya sebanyak 6 – 8 siklus agar mendapatkan efek yang diharapkan dengan efek samping yang masih dapat diterima.
“Setelah dilakukan tindakan pembedahan dan kemoterapi, perawatan pasca operasi serta follow up berkala sangat diperlukan, ” pungkasnya. (*)
Penulis: Muhammad Suryadiningrat
Editor: Nuri Hermawan