SURABAYA– Kebutuhan baterai akibat pengembangan mobil listrik yang terus digencarkan oleh pemerintah saat ini meningkat, namun demikian baterai mobil listrik yang saat ini dianggap tidak ramah lingkungan dan mahal. Berangkat dari permasalahan tersebut, Tim Neutrino dari Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) menggagas elektrolit padat baterai mobil listrik hasil ekstraksi bambu tali.
Dilansir dari CNBC, kebutuhan baterai mobil listrik bisa mencapai 198 GWh pada tahun 2050 mendatang. Namun baterai mobil listrik yang dikomersialkan masih menggunakan elektrolit cair yang bersifat korosif, mudah menguap, dan meledak karena adanya korsleting . “Dengan mengganti ke elektrolit padat, risiko tersebut dapat diminimalkan karena kestabilan termalnya lebih tinggi, ” jelas Andyan Rafi Setopratama, Ketua Tim Neutrino.
Baca juga:
Kode Etik Jurnalistik dan Penjelasannya
|
Tak hanya itu, lanjut mahasiswa yang akrab disapa Rafi ini, baterai mobil listrik komersial apabila dibuang ke lingkungan akan menjadi limbah berbahaya B3 (bahan berbahaya). Hal itu dikarenakan masih menggunakan bahan sintetis seperti polietilena dan polipropilen. Bahan-bahan sintetis ini pun mahal harganya, sehingga harga dari baterai mobil listrik komersial juga tinggi. “Bahkan harga baterai mobil listrik Tesla setara dengan harga mobil Avanza, ” ungkap mahasiswa Departemen Fisika ini.
Tim yang juga beranggotakan dua mahasiswa lainnya dari Departemen Fisika angkatan 2019 yaitu Pahul Zhemas Zul Nehan dan M Fatahillah Aqsa Laksana Bahtera Nuh ini terinspirasi dari penelitian serupa yang dilakukan oleh Ndruru pada tahun 2019 yang menggunakan kulit kakao. Berbeda dengan Ndruru, elektrolit padat gagasan Tim Neutrino ini menggunakan bambu tali yang banyak dijumpai di Indonesia.
Struktur serat selulosa yang terdapat pada bambu tali
Pembuatan elektrolit padat ini dilakukan dalam lima tahap. Tahap pertama adalah menentukan kadar selulosa dan lignin yang terdapat dalam bambu tali. Dengan menggunakan metode Chesson-Data, ditemukan bahwa bambu tali mengandung 72 persen selulosa dan 5 persen lignin. Kadar selulosa ini merupakan kadar tertinggi jika dibandingkan dengan penelitian serupa yang menggunakan bahan alam lainnya seperti kulit kakao, serat ampas tebu, dan tongkol jagung manis.
Kemudian dilanjutkan ekstraksi kandungan selulosa dengan menggunakan metode Microwave Assisted Extraction (MAE) yang menghasilkan bubuk selulosa. Selanjutnya adalah sintesis karboksimetil selulosa atau Carboxy Methyl Cellulose (CMC) dengan penambahan asam monokloroasetat (MCA) dan isopropanol. Tahap keempat adalah sintesis cairan ion yang akhirnya dicampur dengan bubuk CMC hingga menjadi biopolimer elektrolit padat.
Kandungan selulosa bambu tali merupakan kadar tertinggi di antara bahan alam lainnya yang telah diteliti
Sayangnya, menurut Rafi, penelitian ini masih sampai tahap ketiga karena waktu yang terbatas. Material penting dalam penelitian seperti garam lithium perklorat juga mahal dan sulit ditemukan di Indonesia sehingga harus mengimpor dari luar negeri. “Akhirnya kami mengerjakan apa yang sudah ada terlebih dahulu, ” ujar mahasiswa kelahiran 2001 ini.
Meskipun begitu, penelitian yang dilakukan selama kurang lebih empat bulan ini berhasil mengantarkan Tim Neutrino meraih juara III dalam ajang Youth Idea Competition 2021 yang diselenggarakan oleh National Battery Research Institute. Tak hanya itu, artikel penelitian ini juga sedang dalam proses penerbitan di jurnal International Symposium and Physic Application .
Mahasiswa asal Jember ini berharap riset penelitian baterai terus berkembang, sehingga dapat menciptakan dimensi baterai mobil mobil yang kecil dengan kapasitas yang besar dan biaya rendah. “Karena biaya baterai jadi murah, mobil listrik tentunya juga bisa dipasarkan dengan harga terjangkau, ” tutupnya optimistis. (HUMAS ITS)
Reporter: Dian Nizzah Fortuna