SURABAYA – Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Airlangga (UNAIR) mengadakan kuliah tamu tentang Politics of Muslim Minority in Thailand pada Senin (6/3/2023). Kuliah tamu kali ini mengundang Dr Hafiz Salae dan Dr Yasmin Sattar dari Universitas Prince of Songkla, Thailand.
Kondisi Muslim di Thailand
Dr Hafiz menjelaskan bahwa Muslim di Thailand termasuk dalam golongan minoritas. Ia menunjukkan bahwa populasi Muslim hanya mencapai 4, 9 persen. Mayoritas populasi Thailand adalah penganut agama Buddha.
Dr Hafiz menilai bahwa kondisi Muslim di Thailand mirip dengan kondisi Muslim di Aceh. Karena itu, muslim Thailand banyak yang berada di wilayah selatan Thailand, yaitu Pattani, Yala, Narathiwat, dan beberapa distrik di Songkla. Ia memaparkan persebaran populasi Muslim Thailand di area selatan mencapai 80 persen.
Baca juga:
Sri Hastjarjo, S Sos , Ph D: Pers dan Media
|
“Populasi di daerah paling selatan memang didominasi oleh Muslim, dengan etnis Melayu sebagai akar budaya dan bahasa mereka, ” Dr Yasmin menambahkan.
“Terkadang orang dari Bangkok menilai masyarakat di selatan, Pattani, sebagai orang Melayu. Karena menurut pandangan mereka Muslim identik dengan etnis Melayu, ” ujar Dr Hafiz.
Konflik yang Terjadi
Hubungan Muslim dengan Pemerintah Thailand mengalami dinamika konflik. Dr Hafiz menjelaskan pada masa lalu, Pemerintah Thailand memiliki kebijakan homogenisasi etnis. Masalah tersebut membuat orang dengan etnis Melayu merasa harus menanggalkan identitas kultur mereka.
“Mengorbankan identitas kultur, contohnya dalam nama. Sehingga di masa lalu, seorang yang memiliki nama yang identik dengan Islam, mengubah namanya dengan nama Thailand, ” ungkap Dr Hafiz.
Sementara itu, Dr Yasmin menambahkan perkembangan konflik di Thailand. Ia menjelaskan bahwa sikap dari Kerajaan Thailand tersebut memicu gerakan separatis di dalam masyarakat Muslim Thailand. Organisasi separatis tersebut muncul sekitar tahun 1960-1970.
“Terdapat organisasi dengan ideologi NASOSI, National, Socialist, Islamic. Seperti Pattani United Liberation Organization (PULO) dan Barisan Revolusi Nasional (BRN), ” paparnya.
Dr Yasmin menjelaskan bahwa terdapat beberapa penyebab konflik. Ia menyebutkan, yaitu terjadinya marginalisasi kultur, kesenjangan ekonomi, korupsi, ketidakstabilan politik, dan kebijakan pemerintah.
“Juli 2005, dekret darurat memberikan dampak buruk di Provinsi Pattani, Yala, dan Narathiwat. Kebijakan tersebut memperburuk kepercayaan masyarakat kepada militer dan polisi di daerah. Hal tersebut mengesankan bahwa kebijakan itu hanya menutupi kekerasan yang dilakukan militer dan polisi, ” jelasnya.
Dr Yasmin menilai kekerasan oleh militer dan polisi sudah melewati batas hak asasi manusia. Ia memaparkan bahwa pembunuhan di luar hukum, upaya hilang paksa, dan penyiksaan terjadi pada etnis Melayu di Thailand selatan.
“Pada tahun 2000-2005 kekerasan pada Muslim Melayu di Thailand selatan meningkat. Kekerasan memang masih terjadi, tapi setelah 2013 perlahan melandai hingga saat ini, ” ungkapnya.
Data kekerasan yang terjadi di Pattani, Yala, Narathiwat, dan Songkla via https://deepsouthwatch.org/en
Upaya Meredam Konflik
Kekerasan terhadap Muslim Melayu di Thailand menurun karena pemerintah mencoba melakukan pendekatan dialog dengan kelompok separatis. Dr Yasmin menilai upaya dialog menjadi cara terbaik untuk menghilangkan tindakan represif militer. Ia juga menyebutkan untuk mencoba berkaca pada Indonesia yang pernah mengalami kasus gerakan separatis Aceh.
“Thailand sudah melakukan dialog damai dengan pelaku separatis. Dialog tersebut menggandeng Malaysia sebagai fasilitator di tahun 2013. Hingga terakhir, bulan lalu (Februari, Red) Anwar Ibrahim, Perdana Menteri Malaysia, hadir untuk membantu negosiasi antara Bangkok dengan kelompok separatis, ” ungkap Dr Yasmin.
Penulis: Muhammad Naufal Rabbani
Editor: Feri Fenoria