SURABAYA – Belakangan ini klaim “sex education” pada konten-konten media sosial sering dibahas oleh beberapa content creator dengan bebas, namun konten edukasi seksualitas menyampaikan sex experience atau pembicaraan tidak jelas. Lantas, apakah fenomena ini dapat mengancam pengetahuan yang sebenarnya tentang pendidikan seksual?
Dosen Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Politik UNAIR Nisa Kurnia Illahiati S I Kom M Med Kom mendefinisikan sex education merupakan pendidikan, yang berkaitan dengan pengajaran dan pembelajaran bersifat progresif dan positif. Sekarang, konten seksualitas di media sosial lebih mengarah sex experience.
Menurutnya, berbeda pada radio atau media konvensional lain, rating topik seksualitas menarik banyak penggemar kemudian menjadi populer dengan pembatasan waktu tertentu. Untuk mengklaim konten termasuk sex education tidak sama dengan pembahasan pengalaman seksual di internet.
“Ada berita anak SMP dihamili akibat dibohongi bahwa sperma itu sel darah putih, itu artinya pengetahuan pendidikan seksual belum cukup. Pemahaman masyarakat terutama anak perempuan yang tidak memiliki akses, atau keluarga yang konservatif. Kemudian, mereka mencari informasi di tempat yang salah, ” papar Alumni Ilmu Komunikasi UNAIR tersebut, Jumat (29/07/2022).
Konten Sex Education di Media Sosial
Berbicara konten sex education, jelas Nisa, terdapat dua sisi. Pertama, pendidikan seksualitas termasuk ilmu pengetahuan. Di sisi lain, banyak orang menganggap gaya hidup pada konten-konten tersebut terkesan menyenangkan untuk ditiru.
Meski media sosial sebagai wadah kebebasan berekspresi, namun kita harus memperhatikan konsekuensi saat membangun narasi perihal kegiatan seksual berlebihan seolah-olah merayakan kebebasan seksual, bukan berkegiatan seksual dengan tanggung jawab. Artinya, mereka paham konsekuensi akan kehamilan sampai memperoleh infeksi penyakit menular.
“Apa jadinya semisal anak-anak tanpa filter menonton tayangan dan mengira kehidupan seksual yang seperti itu merupakan hal normal, maka pemahaman itu bisa menjadi bahaya. Sementara para content creator tujuannya engagement lalu viral tentu saja belum disadari oleh orang yang mengkonsumsi, ” ujarnya
Ahli Gender dan Seksualitas itu menyepakati bahwa sex education masuk dalam kurikulum pendidikan dibarengi penjelasan konsekuensi sosial apabila hamil. Rata-rata program ini di sekolah tidak menyebutkan dampak setelah hamil, misalnya menghabiskan biaya; waktu; sekaligus tanggung jawab pada manusia.
“Karena itu, mendidik mereka yang masih kosong pengetahuannya tentang seksualitas menjadi solusi dari permasalahan sebelumnya. Mulai apa yang benar hingga konsekuensi saat hamil, maka mereka harus siap kehilangan termasuk risiko-risiko penyakit seksual. Para content creator juga harus memiliki pemahaman sex education yang benar, dengan tanggung jawab pada konten apapun, ” pesan Nisa Kurnia Illahiati S I Kom M Med Kom..
Penulis: Balqis Primasari
Editor: Nuri Hermawan