SURABAYA – Pakar HAM UGM Dr. Herlambang P. Wiratraman diundang menjadi narasumber dalam seri kedua dari serangkaian diskusi yang digelar Human Rights Law Studies (HRLS) UNAIR. Seri ini digelar pada Kamis sore (17/3/2022). Materi yang dieksplor adalah jalan terjal dalam penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM berat di Indonesia, sekalipun era Reformasi telah bergulir lebih dari dua dekade.
Disadur dari Amnesty International Indonesia, masih terdapat 12 kasus pelanggaran HAM berat yang belum menemui pelita keadilan. Beberapa contohnya adalah Genosida 1965-66, Peristiwa Talangsari 1989, Penghilangan Paksa 1997-98, Kerusuhan Mei 1998, dan Peristiwa Paniai 2004.
Impunitas, Impunitas, dan Impunitas!
Herlambang menyerukan bahwa terkalutinya kasus-kasus tersebut dengan impunitas merupakan bentuk kejahatan negara yang sistematik. Hal ini dikarenakan bahwa negara terlibat langsung dalam pelanggaran HAM berat. Ia juga menambahkan bahwa negara terlibat supaya proses penegakan hukumnya mencerminkan kepentingan politik kekuasaan.
“Penggunaan instrumentasi hukum atau politik digunakan, terkadang secara terang-terangan. Ambil contoh adalah pernyataan Jaksa Agung ST Burhanuddin bahwa Penembakan Semanggi bukanlah pelanggaran HAM berat. Negara juga denial dengan pertanggungjawaban pelanggaran HAM berat, seperti penyangkalan terhadap International People’s Tribunal 1965 yang memvonis bahwa pemerintah Indonesia melakukan genosida pada Peristiwa 1965-66, ” papar mantan lektor FH UNAIR itu.
Pelaku pelanggaran HAM berat justru malah dilibatkan dalam pengambil kebijakan atau menjabat di pemerintahan. Herlambang mengatakan bahwa hal ini merupakan kontradiksi dengan semangat mengakhiri impunitas. Ia memberikan contoh dengan pengangkatan Wiranto sebagai menteri dan Ketua Dewan Pertimbangan Presiden di era Presiden Jokowi, sekalipun ia terduga terlibat dalam kasus Timor Timur 1999.
“Semua ini terwujud melalui lemahnya komitmen politik hukum negara untuk merampungkan kasus pelanggaran HAM berat, ” simpul mantan Direktur HRLS UNAIR itu.
Mengobati Lukanya Sendiri
Baca juga:
Satgas PEN Polri Lakukan Pengawasan di Jatim
|
Herlambang mengatakan bahwa problem utama dari kusutnya benang penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat adalah waktu. Tak jarang keluarga atau orang terdekat korban sudah tutup usia terlebih dahulu sebelum mengetahui kebenaran, atau bahkan mendapat akses keadilan.
“Padahal dalam konteks pelanggaran HAM berat, korban atau keluarga korban berhak atas kebenaran. Negara wajib memberikan detail terkait apa yang terjadi, bagaimana proses penegakan hukumnya, dan siapa pelakunya. Mereka juga berhak atas untuk mengakses keadilan, dan reparasi atas kerugian yang diderita, ” ujar peneliti ELSAM itu.
Di penghujung sesi materinya, Herlambang menceritakan terkait inisiatif masyarakat untuk mengungkap kebenaran atas kasus pelanggaran HAM berat di kala absennya negara. Beberapa contoh adalah pembongkaran kuburan massal kala Genosida 1965-66 di beberapa tempat seperti Sidoarjo, Jembrana, dan Semarang. Walikota Palu Rusdy Pastura juga pernah mengeluarkan Deklarasi Palu yang berisi permintaan maaf resmi kepada para korban Genosida 1965-66.
Penulis: Pradnya Wicaksana
Editor: Nuri Hermawan