SURABAYA – Dampak perekonomian setelah pandemi menyebabkan banyak pengusaha gulung tikar. Berbagai upaya telah dilakukan pemerintah untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang rendah, salah satunya dibidang perpajakan. Dalam hal ini, pemerintah mengeluarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 23 Tahun 2020 tentang Insentif Pajak untuk Wajib Pajak terdampak wabah virus Covid-19.
Mengenai hal tersebut, Himpunan Mahasiswa Akuntansi (HMA) SIKIA UNAIR Banyuwangi menggelar Kuliah Tamu III bertajuk Insentif Pajak sebagai Pendorong Ekonomi setelah Masa Pandemi Covid-19. Kegiatan tersebut bertujuan memberikan pemahaman dan pengetahuan baru terkait urgensi kebijakan insentif pajak dalam mendorong ekonomi setelah masa pandemi Covid-19.
Tri Vina Ristiana selaku ketua pelaksana menjelaskan bahwa kegiatan ini merupakan series ketiga dari kuliah tamu yang telah dilaksanakan oleh HMA SIKIA. Dalam kegiatannya, series ketiga ini dihadiri oleh Arifin Rosid PhD Ak CA selaku Dosen FEB Universitas Indonesia sebagai pemateri.
Arifin menjelaskan bahwa penerimaan pajak merupakan komponen utama pendapatan negara dengan kontribusi rata-rata 66 persen dalam lima tahun terakhir. Dalam hal ini, pemulihan ekonomi, perbaikan permintaan global, peningkatan harga komoditas, serta bauran kebijakan fiskal, mampu menopang penerimaan tahun 2021 untuk tumbuh 19, 2 persen setelah terkontraksi 19, 6 persen pada tahun 2020 akibat pandemi Covid-19. Tren pemulihan ini diproyeksikan terus belanjut pada tahun 2022 sehingga penerimaan pajak diperkirakan akan melampaui level pra-pandemi.
“Pemulihan ekonomi dan peningkatan harga komoditas yang menopang penerimaan pajak pada tahun 2021 diharapkan berlanjut pada tahun 2022 sehingga penerimaan pajak dapat melebihi level pra-pandemi, ” ujarnya.
Ia melanjutkan, komposisi penerimaan pajak berdasarkan jenis pajak tidak terlalu banyak berubah. Pada masa pandemi, berbagai insentif pajak untuk sektor-sektor terdampak telah diberikan, sehingga porsi PPh Badan dan PPh 22 impor menurun. Sedangkan, pada masa pemulihan, phasing-out insentif pajak mulai dilakukan sejalan dengan pulihnya mayoritas sektor utama, sehingga penerima insentif pada semester II jauh berkurang, karenanya porsi PPh 22 impor dan PPh badan meningkat.
Menurutnya, setelah berlakunya UU HPP, porsi PPh badan meningkat secara drastis. Hal tersebut terjadi karena PPh tahunan badan yang meningkat akibat peningkatan harga komoditas tahun 2021.
“Masih terlalu dini untuk menilai ada atau tidaknya perubahan komposisi akibat UU HPP, karena penerimaan masih terhitung sampai bulan April ketika PPh Tahunan baru dibayarkan, yang tentu akan meningkatkan kontribusi PPh badan, ” jelasnya.
Kemudian, Arifin mengungkapkan, nilai belanja perpajakan tahun 2020 terhitung sebesar Rp. 234, 84 triliun, dan 1, 52 persen di antaranya berasal dari PDB. Dana tersebut telah digunakan untuk beberapa kebutuhan yang dibutuhkan oleh masyarakat, di antaranya meningkatkan kesejahteraan masyarakat (Rp. 119, 6 T), mendukung dunia bisnis (Rp. 26, 7 T), meningkatkan iklim investasi (Rp. 28, 6 T), dan mengembangkan UMKM (Rp. 59, 9 T).
Baca juga:
Najwa Shihab: Profesi Jurnalis
|
“Selain berbagai insentif tersebut, sektor industri termasuk insentif yang berlaku secara umum, seperti insentif untuk UMKM. Dalam hal ini, dengan banyaknya insentif perpajakan yang diberikan, sektor ini menjadi sektor dengan belanja perpajakan tertinggi yaitu sebesar 24, 3 persen dari total dana yang ada, ” pungkasnya. (*)
Penulis : Azka Fauziya
Editor : Binti Q. Masruroh