SURABAYA - Sejumlah brand asal Indonesia yang mengaku tampil dalam pagelaran Paris Fashion Week 2022 tengah mendapat perhatian. Pasalnya, mereka dituding “halu” dan terkesan membodohi konsumen.
Pakar komunikasi branding asal Universitas Airlangga (UNAIR), Dina Septiani BComm MComn PhD menanggapi bahwa fenomena tersebut sebenarnya merupakan cara untuk memperkuat positioning sekaligus meningkatkan engagement.
“Relevan dengan pencitraan merek, tujuan sebenarnya adalah agar bisa dilihat dan dibicarakan oleh kita. Sekaligus menempatkan brand mereka di kancah internasional, utamanya agar dilihat oleh reseller dan konsumen mereka, ” sebutnya.
Memboyong banyak selebgram ternama, dosen Ilmu Komunikasi UNAIR tersebut menilai metode itu cukup berhasil meningkatkan engagement brand-brand tersebut di media sosial. “Mereka ingin menciptakan adanya word of mouth, memberitahu follower brand dan brand ambassador yang ikut ke Paris, bahwa mereka sebagai brand Indonesia bisa loh ke Paris, terlepas itu PFW resmi atau tidak, ” katanya.
Mengenai pembodohan konsumen, Dina pada Selasa (22/3/2022) menyampaikan adanya ketidaksesuaian etika dalam komunikasi. “Brand harus dapat memahami batasan etika pemasaran, jika tidak benar maka jangan disampaikan. Tapi kalau ada kesalahpahaman, mari kita lihat apa tindakan yang akan dilakukan brand, apakah meminta maaf atau tidak, ” jelasnya.
Sebuah brand yang ingin menempatkan positioning, harus mengerti cara dan etikanya. Pakar komunikasi bidang korporat ini menyebutkan, perlakuan yang tidak sesuai justru malah terkesan mengglorifikasi hal-hal yang tidak perlu.
Baca juga:
Najwa Shihab: Profesi Jurnalis
|
Meski tidak dapat dibenarkan secara etika, Dina menyebutkan bahwa prestasi yang dilakukan brand-brand tersebut patut diapresiasi. “Saya salut, model bisnis mereka mampu bertahan hingga hari ini, dan memberikan kontribusi positif pada negeri paling tidak dalam menyerap tenaga kerja. Mereka punya keinginan untuk mengembangkan brand asli Indonesia, ” ujarnya.
Brand harus memahami bahwa media sosial terus memacu penampilan yang terbaik, namun kalau tidak sesuai dengan kenyataannya justru akan melanggar etika pemasaran. “Pencitraan merek itu perlu, memperkuat positioning di mata audiens itu perlu namun harus paham batasannya. Jangan sampai mengglorifikasi dan akhirnya malah menjatuhkan citra brand, ” sebutnya. (*)